.jpg)
Identifikasi Ancaman Pemilu dan Pemilihan 2024 Dengan Manajemen Risiko
Jakarta, kpu.go.id - Anggota KPU RI, Viryan menekankan pentingnya manajemen risiko untuk mengidentifikasi permasalahan atau ancaman yang akan muncul sehingga dapat dimitigasi. Salah satu yang diharapkannya dapat termitigasi dengan baik adalah tidak berulang petugas pemilu yang berjatuhan saat tahapan berlangsung.
"Kami coba masuk kepada memikirkan itu, apa kepentingan kita mengamati ancaman, kita melihat jangan sampai ketika tahapan pemilu direncanakan ada aspek kita tidak tahu tiba-tiba kejadian tiba-tiba meninggal berarti ada yang terlewati, manajemen risiko mengidentifikasi itu dan dihitung secara detail agar tidak terjadi," ujar Viryan dalam Webinar Bedah Buku & Diskusi Pemilu bertajuk “Manajemen Risiko dalam Pemilu dan Tantangan Pemilu 2024” yang digelar KPU Kota Bekasi, Kamis (30/9/2021).
Usulan Viryan dalam mengantisipasi hal tersebut antara lain dari sisi rekrutmen petugas KPPS yang mana perlu diperluas tetapi dengan batasan seperti usia dan memperhatikan penyakit komorbid. Opsi lainnya, kata Viryan, memitigasi waktu penghitungan suara seperti pada 2004-2014 di mana dilakukan empat tingkat atau empat jenjang dengan cara paralel. Selain itu, menurut Viryan perlu dilakukan simulasi juga dalam melakukan berbagai rencana mitigasi risiko.
Terkait usulan mitigasi risiko berjatuhannya petugas pemilu, Viryan mengatakan perlu pendalaman bahkan jadi satu studi kasus tersendiri.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Luqman Hakim menyoroti hal yang sama yakni terkait petugas yang sakit hingga meninggal. Menurutnya, regulasi yakni UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang didalamnya mengatur tentang penghitungan suara hasil pemilu sama sekali abai hak asasi manusia mengingat beban kerjanya yang nonstop dari pukul 7 pagi hingga 12 malam kemudian jika perhitungan belum selesai akan ditambah 12 jam tanpa istirahat.
Luqman pun menyayangkan hal tersebut sehingga berharap adanya keinginan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membuat risiko itu bisa tertangani dengan baik.
Kepala Laboratorium Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi Ainur Rofieq menyoroti terkait adanya korban yang berjatuhan saat tahapan karena beban kerja sangat berat dan berakibat pada kematian. Hal ini, kata dia, perlu diantisipasi dan disiapkan mekanisme yang dapat mengurangi beban kerja atau mengurangi kematian dan kelelahan petugas KPPS. Selain itu, Ainur menitik beratkan pada generasi di mana mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) kemungkinan besar pemilu akan didominasi kalangan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) yang pada umumnya menyukai gaya hidup dan sedikit yang condong tertarik politik.
Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Abdullah Dahlan mengutip dari makalah IDEA tentang manajemen resiko pada pemilu menjelaskan faktor risiko yakni kerangka hukum yang diperdebatkan, pelatihan dan pendidikan, penyelesaian sengketa pemilu kurang memadai, konflik pemilu memanas, hasil pemilu disengketakan, hingga keadaan sosial ekonomi. Sementara Ketua KPU Kota Bekasi Nurul Sumarheni menyampaikan makalah yang dikeluarkan IDEA berdasarkan studi di 5 benua tidak melibatkan Indonesia tetapi bukan berarti tidak bisa diambil sebagai pelajaran. Menurutnya, risiko aspek hukum, teknis hingga risiko keamanan yang akan dihadapi sehingga menjadi relevan untuk memahami manajemen risiko pemilu.
Sementara itu, Ketua Divisi Teknis KPU Provinsi Jawa Barat Endun Abdul Haq mengatakan masih ada waktu untuk melakukan analisa manajemen risiko menjelang pemilu 2024 agar mendekati kesempurnaan kelancaran pemilu. Menurutnya, perlu mengidentifikasi kekurangan melalui manajemen risiko ini sehingga ada perbaikan dan tidak terjatuh pada lubang yang sama. "Kita harus melakukan perbaikan terus menerus dalam sisi kualitas tentunya soal elektoral proses manajemen tahapan dll," kata Endun. (humas kpu ri tenri/ foto tenri/ed diR)